Senin, 15 Juni 2015

Hidup Menentang Zaman, Suku Baduy Akan Tetap Teguh

Baduy, sudah banyak orang yang mengetahui keberadaan suku ini. Mereka hidup di daerah perbukitan dan jauh dari kota membuat suku ini jauh dari kata modern. Baduy sendiri terbagi atas dua, yakni: Baduy Luar dan Baduy Dalam. Baduy Dalam merupakan suku yang masih memegang teguh nilai nilai ajaran leluhur yang melarang masyarakatnya untuk mendekati ajaran modern. Tidak boleh mengenakan alas kaki dan kendaraan bemotor serta warna pakaian yang tak boleh mencolok, hanya hitam dan putih yang mereka kenakan.

Berbeda dengan Baduy Luar yang sudah mulai ada polesan budaya modern. Warga Baduy Luar sendiri diperbolehkan menggunakan alas kaki dan kendaraan umum. Namun tetap tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan resmi dan menggunakan listrik. Walaupun sudah kebanyakan warga Baduy Luar sudah memiliki telepon genggam.

Dari Jakarta

Untuk menuju desa ini, bisa menggunakan jasa angkutan kereta api dan berhenti di Stasiun Rangkas Bitung untuk selanjutnya menuju terminal Ciboleger yang terletak tak jauh dari stasiun. Di Ciboleger, sudah ada angkutan yang memang khusus mengangkut wisatawan yang ingin ke Baduy.

Melalui perjalanan panjang dan melelahkan membuat kita harus mempersiapkan fisik dan mental. Jalan berkelok serta berlubang membuat perjalanan kurang terasa asyik. Ditambah debu yang begitu pekat apabila kita melakukan perjalanan saat musim kemarau.


Desa Cikesik

Adalah Desa Baduy Dalam terluar dan tertua diantara tiga desa lainnya. Ada tiga Desa Baduy Dalam, yaitu Desa Cikatawarna, Desa Cibeo dan Desa Cikesik. Tak banyak wisatawan yang mengunjungi Desa Cikesik, karena memang jarang orang yang mengetahuinya. Cukup berjalan 15 menit dari perbatasan Desa Cijahe menuju Desa Cikesik. 

Namun, baiknya kita sudah membuat janji dengan salah satu Warga Baduy agar tak jatuh ke tangan pemandu wisata yang salah dan perijinan dengan ketua jaro lebih mudah.

Sesampainya di Cikesik, ketenangan langsung dapat dirasakan. Tanpa alat elektonik dan pro kontra pemberitaan. Hanya canda dan tawa yang ada. Suasanya sejuk dan asripun menambah kenikmatan para wisatawan yang datang.

Suasana terasa masih sangat alami dengan terdengarnya kicauan burung ditambah suara gemercik aliran sungai. Tak ada suara klakson yang berbalasan seperti di kota. Dikala malam walau tanpa listrik, cahaya rembulan sudah lebih dari cukup menerangi. Mungkin karena tak ada distorsi cahaya dari lampu sorot dari gedung gedung pencakar langit.

Warga Baduy hidup begitu tenang dan damai. Sempat ada percakapan dengan seorang Warga Baduy, Pak Narpah namanya. Sosok pria dengan tiga anak yang begitu ramah dan rendah hati menerima setiap kedatangan setiap wisatawan. Pak Narpah menjelaskan kalau Desa Cikesik didiami sebanyak 70 rumah yang terdiri atas 130 kepala keluarga.

"Disini ada 70 rumah tapi 130 KK. Dulu 60 rumah sekarang nambah 10" ujar Pak Narpah.

Pak Narpah juga menjelaskan kalau tempat yang ia diami ini akan bergeser ke tanah lapang dekat dengan rumahnya. Bukan hanya rumah Pak Narpah, namun seisi desa akan berpindah.

"Sebelum puasa mau pindah rumah. Sekarang lagi buka lahan, nanti semua rumah dipindah kesana. Rumahnya di gotong bareng-bareng terus di taro di tempat yang baru. Karena di dalam batin merasa tidak cocok. Sudah bilang ke ketua puun, sebelum puasa pindah" pungkas Pak Narpah lagi.

Rumah rumah di Baduy Dalam masih menggunakan bahan yang berasal dari alam. Tak mewah tetapi nyaman untuk ditempati. Dengan seni artistik dari alam, rumah terasa begitu sejuk.

Tak tak ada dokumentasi yang dapat diabadikan di Baduy Dalam, karena peraturan adat disana tidak mengizinkan wisatawan mengambil gambar. Tak ada salahnya kita mematuhi peraturan untuk menghargai kearifan lokal.

Baduy Luar

Sehari di Baduy Dalam dan keesokan harinya harus segera pulang. Perjalanan pulang kali ini melewati Baduy Luar. Tak ada larangan dokumentasi disini. Sekitar dua kilometer dari Baduy Dalam terdapat lumbung padi (leutik) milik warga. Lumbung padi ini digunakan untuk menyimpan gabah dan bahan pangan lainnya sebagai persediaan hidup.





Tak lama melewati lumbung padi, terdapat barisan rumah Suku Baduy Luar yang sederhana dan tertata rapih. Kesederhanaan bukan hanya pada bangunannya, tetapi juga pada masyarakatnya. Teringat ada percakapan dengan seorang anak Baduy bernama Samin ( 17 tahun ) yang sebenarnya menginginkan berpindah ke Baduy Luar agar bisa merasakan naik mobil dan menggunakan telepone genggam.

"Sebenernya mau di Baduy Luar, pengen naik mobil, pengen punya hand phone. Tapi saya mah pasrah dan ikhlas menerima takdir dan peraturan yang udah diatur sama leluhur. Kalo semua pengen keluar nanti Baduy Dalem ga ada lagi" tutut Samin dengan logat khas sunda wiwitan.


Begitu ikhlas nya mereka menjalani kehidupan tanpa banyak mengeluh. Tetap gigih menjalani kehidupan. Dan teguh sebagai masyarakat Baduy Dalam. Serta menjunjung tinggi nilai nilai warisan dari leluhur. 


Terima Kasih
Salam Hangat
Eka \m/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar