Rabu, 30 Desember 2015

Terus, dan Teruslah Menulis

Sejak kapan suka menulis?

Apa yang menarik dari menulis?

Kenapa saya harus menulis?

Saya mulai menulis sejak belum mengenal bangku sekolah. Masih pekat dalam ingatan, saya kerap meniru gaya tulisan Kakek dan Ayah saya. Karena gaya tulisan mereka unik, seperti kode yang hanya bisa dibaca oleh orang-orang tertentu. Maklum Ayah saya memang bekerja dibidang medis yang sering menuliskan resep untuk menebus obat. Sementara Kakek saya sangat mahir menulis dengan huruf stenografi.Saya mulai mencoret-coret kertas kosong dengan imajinasi kala itu "tulisan ku sama kan dengan Kakek dan Ayah".

"Menulis itu bisa menuangkan imajinasi, mengisi waktu, mencurahkan isi hati", Silvita Agmasari.


Saya masih tetap menulis walaupun saya tahu tulisannya tak terlalu menarik untuk dibaca khalayak luas. Tetapi saya tak pernah pupus harapan untuk terus menulis. Tak ada alasan kuat untuk berhenti menulis, karena menulis adalah bagian dari hidup saya.


"Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian", Pramoedya Ananta Toer.

"Nulis itu raison d'etre. You wouldn't feel like being live without writing, wether it's a diary, short story, two line poems or reportage", Yoga Hastyadi Widiartanto.

"Nulis biar tetep eksis", Wahyu Adityo Prodjo.

Setidaknya saya memiliki "sedikit karya" untuk keturunan saya nanti. Ada bukti secara real dan bukan hanya sekedar cerita belaka. Bisa bernostalgia ketika ingin mengingat kenangan terdahulu dengan membuka tulisan-tulisan lama. Minimal tulisan itu berguna untuk diri saya sendiri.

Terima Kasih,

Salam Hangat,
Eka, Negeri Berdebu.

Senin, 28 Desember 2015

Pecandu Buku Mejelajahi Ruang dan Waktu


Bandung, lagi-lagi menjadi tempat "merdeka" bagi ide-ide anak muda yang berpikir "gila" dan penuh dobrakan. Siapa yang masih meragukan kota dengan sejuta kreativitas ini? Bahkan Unesco sudah menetapkan Bandung sebagai salah satu kota kreatif di dunia.

Menelisik tentang kreativitas apa saja yang terlahir dari kota ini, Pecandu Buku adalah salah satunya. Sebagai komunitas yang terdiri dari muda-mudi yang memiliki minat membaca buku dan ingin menularkannya pada kalangan luas.

Berawal dari jumlah pengikut di instagram hanya berjumlah puluhan, kini dalam kurun waktu kurang dari satu tahun Pecandu Buku berhasil menghimpun hampir 10.000 pengikut. Suatu prestasi yang pantas diacungi jempol. Bagaimana tidak, jumlah pengikut dapat dikatakan sebagai barometer eksistensi suatu komunitas.






Jika para pecandu ingin mengunjungi markas Pecandu Buku, markas (taman baca) terletak di Jalan Pasirjaya IV No. 1 Buah Batu, Bandung. Tempat yang masih sederhana, namun keberadaanya dapat menjadi elemen penting untuk generasi pelurus. Memiliki koleksi mulai dari fiksi dan nonfiksi, serta buku-buku karya dari penulis-penulis yang cukup familiar.

Buku adalah gudang ilmu, membaca adalah kuncinya. Buku adalah jendela dunia. Begitulah kiranya bunyi pepatah. Dengan membaca buku, kita bisa menelisik lebih dalam bagaimana dunia ini dengan realita dan drama kehidupannya. Menjelajahi ruang dan waktu yang disokong dengan imajinasi tanpa batas.

Koleksi buku yang ada di markas (taman baca) Pecandu Buku mungkin belum terlalu banyak. Namun tak menutup kemungkinan jika khalayak luas ingin memberikan sumbangsihnya berupa buku-buku yang bermanfaat, Pecandu Buku membuka tangan dan menerima dengan hangat.





Dalam waktu dekat, komunitas ini akan mengadakan peluncuran resmi taman baca dengan tema Pecandu Buku Bersila. Acara ini tidak dipungut biaya, namun ketersediaan kuota memamg dibatasai. Jika berminat, teman-teman bisa menghubungi salah satu kontak penanggungjawab yang tertera pada poster.

Semoga kehadiran Komunitas Pecandu Buku dapat menjadi influence dan lifestyle untuk banyak kalangan.



Terima Kasih,

Salam hangat dari Negeri Berdebu,
Eka \m/

Kamis, 03 Desember 2015

Pulau Para Dewa (Part II)

Adalah hari kedua singgah di Pulau Para Dewa ini. Pukul 02.00 WITA kami sudah bergegas bangun san bersiap menuju destinasi selanjutnya. Berat gravitasi tempat tidur dan lengket rasanya kelopak mata ini.

A: Neng, bangun atuh ih kamu mah meuni susah dibangunin
E: Lima menit please... ngantuk banget gak kuat.
A: Yeeee... lawan atuh.. ayo ah!!

Dengan langkah yang terseok menuju kamar mandi. Berusaha sekuat tenaga mengalahkan rasa kantuk yang terlalu. Tak lama selesai semua persiapan, tepat pukul 03.10 kami berangkat.

Udara dingin menusuk raga ini tanpa ampun, dan lampu jalanan yang berkelap kelip mengiringi perjalan (yang sangat) pagi ini. Menempuh perjalanan dua jam dari Umalas menuju Utara Bali. Ya! Desa adat Kintamani. Daerah dataran tinggi di Pulau Bali yang akan kami jadikan tujuan selanjutnya.

Berbekal aplikasi navigasi kami mengandalkan segalanya. Tak sulit mencari jalan disini, kalau masih ada garis putih di sisi jalan berarti kita masih berada pada jalur yang benar. Tetapi, hilangnya garis putih pada sisi jalan menjadi pertanda kalau kita sudah memasuki kawasan pedesaan yang mengindikasikan kita sudah keluar dari jalur sesungguhnya.

E: A, masih jauh deh kayanya. Istirahat sebentar boleh? Aku kedinginan banget.
A: Iya kita cari pom bensin ya sekalian saya mau buang air kecil.
E: Aku salah bawa jaket nih. Nusuk banget dinginnya dan ngantuk
A: Iyah sama saya juga nih.

Sejenak meregangkan otot yang sudah sejak tadi kaku karena terpapar udara yang (sangat) dingin.

Kami lihat pada aplikasi, jarak yang harus kami temput masih 10 Km lagi. Sebenarnya tak terlalu jauh karena kami menggunakan skuter matik. Namun, suhu kala itu yang cukup menjadikan permasalahan untuk kami. Skuter dilaju dengan kecepatan sedang, ya sekitar 50-70 Km/jam.

Akhirnya kami sampai pada tujuan, Batur View!! Yeaayyyy....
Kami lihat banyak kelap-kelip headlamp para pendaki yang akan summit menuju kaldera Gunung Batur. For your info, Kaldera Batur sudah diakui oleh dunia karena keindahannya. Namun karena kami tak membawa perlangkapan untuk mendaki, kami hanya menikmati suasana pada point view. Tak kalah indah! kami melihan banyak sekali keajaiban alam raya Indonesia di Pulau Dewa ini.


Pukul 06.30 WITA kami bergegas turun menuju destinasi selanjutnya. Sekali lagi kami mengandalkan aplikasi navigasi yang ada pada gawai. Menuju Pura Ulun Danu Bratan. Pura yang sangat legendaris karena terdapat di pecahan uang Rp. 50.000,- .

Sebenarnya wisatawan domestik tak dikenakan biaya apapun kecuali parkir. Namun, kesalahan kami yang membuntuti rombongan wisatawan mancanegara dan ikut dikenakan biaya tiket Rp. 7.500/orang. Tapi kami tak menyesali itu, anggap saja kami membantu untuk menjaga keeksotisan tempat ini.










Suasananya sangat damai ditemani dengan sejuknya udara kala itu. Puas kami mengelilingi Pura, kami kembali menuju Hotel.




Sangat beruntung, hotel yang ditempati memiliki view yang bagus. Ketikan membuka balkon, pemandangan sawah yang begitu hijau dan menyegarkan mata. Cukup mengeluarkan Rp. 240.000,- Fave Hotel Umalas sudah memberikan fasilitas yang oke menurut saya. Sarapan, kolam renang, billyard dan fasitilas kamar juga yang oke.


Saya memutuskan untuk istirahat sejenak, makan dan tidur siang. Mengingat perjalanan kali ini cukup melelahkan.


Sore hari pukul 15.00 saya kembali melanjutkan perjalanan menuju Kuta Selatan. Tujuan setiap sore adalah untuk menikmati senja di pulau yang menjanjikan beribu keindahan senja. Kali ini saya memilih Dreamland Beach di kawasan Pecatu. Ini yang saya suka dari Bali, tempat wisata terjaga namun tetap dengan harga yang ekonomis. Cukup bayar uang parkir sebesar Rp. 5.000'- saja saya sudah bisa memasuki kawasan ini.






Berakhirlah perjalanan hari kedua ini. Saya pulang untuk beristirahat di tempat adik saya dan parter kembali menuju penginapan.




Terima Kasih
Salam Hangat
Eka \m/